MEDAN – Senat Universitas Dharmawangsa (Undhar) mengukuhkan Dr Kusbianto SH MHum sebagai Guru Besar Tetap dalam bidang Ilmu Hukum Undhar di aula kampus tersebut, Jalan KL Yos Sudarso Medan, Kamis (26/1/2023).
Pengukuhan dipimpin Ketua Senat Akademik Prof Dr Lahmuddin Lubis MEd bersama Rektor Undhar Dr Zamakhsyari Bin Hasballah Thaib Lc, MA dan anggota senat akademik Undhar.
Hadir dalam pengukuhan Guru Besar itu, perwakilan Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) Wilayah I Sumut, Ketua Yayasan Pendidikan Dharmawangsa Medan H Muzakkir SE, Sekretaris Yayasan Dra Hj Faridah Nasution MAP, para wakil rektor, dekan, dan ketua program studi di lingkungan Undhar, serta undangan.
Rektor Undhar Dr Zamakhsyari Bin Hasballah Thaib Lc, MA dalam sambutannya mengatakan, dengan bertambahnya guru besar ini menjadi inspirasi bagi dosen-dosen Undhar terutama dari dosen muda untuk lebih bersemangat menyelesaikan pendidikan S3-nya dan mencapai gelar akademik tertinggi, yaitu guru besar atau profesor.
“Dengan pertambahan guru besar ini kita harapkan ke depan kita bisa membuka program studi S3. Karena untuk membuka progran S3 minimal memiliki 3 orang profesor di bidang ilmu yang sama,” kata rektor.
Rektor juga berharap dengan pertambahan guru besar ini Undhar makin produktif melahirkan berbagai ide, gagasan dan pemikiran khususnya di bidang ilmu hukum. Apalagi sejak awal Undhar terkenal dengan fakultas hukumnya.
“Selain itu, pengukuhan profesor dalam bidang ilmu hukum ini merupakan bentuk pengakuan pemerintah atas kredibilitas keilmuan dalam bidang hukum yang dimiliki Undhar,” kata Zamakhsyari.
Rektor menambahkan, dalam waktu dekat atau dalam 2 tahun ini Undhar menambah guru besar.
“Ini seiring dengan target kita pada tahun lalu Undhar memiliki sekitar 12 doktor baru. Tentu di 2023 ini kita harapkan lebih dari itu. Mudah-mudahan mungkin bisa mencapai 15 doktor baru di tahun ini sehingga makin meningkat kualitas SDM,” kata rektor.
Saat ini, katanya Undhar memiliki 132 dosen dan 30 orang di antaranya sudah S3 dan di 2023 ini dharapkan jadi 45 berkualifikasi doktor.
Sementara itu, Prof Dr Kusbianto SH MHum dalam pidato pengukuhannya berjudul “Suguh Hati sebagai Bentuk Alternatif Penyelesaian Sengketa Tanah di Perkebunan”.
Dia mengatakan, di Sumatera Utara, perusahaan perkebunan menggunakan penyelesaian konflik/sengketa tanah perkebunan denga cara pemberian ganti rugi memakai istilah ‘suguh hati’.
Kata ‘suguh hati’, katanya bahkan ditetapkan secara resmi dalam surat keputusan perusahaan perkebunan dalam penyelesaian kasus-kasus tanah.
Istilah tersebut digunakan dalam lalu lintas administratif, baik dengan pihak eksternal maupun internal perusahaan.
” Kata ‘suguh hati’ menurut PTPN, adalah istilah yang lebih sesuai dan diterima masyarakat perkebunan di Sumatera Utara,” kata mantan Rektor Undhar yang kini menjabat Direktur Program Pascasarjana Undhar ini.
Ide awal pemberian suguh hati, tambah Kusbianto, terinspirasi dari praktik yang berkembang di daerah Jawa.
Dalam penanganan berbagai konflik sosial dikenal istilah pemberian tali asih atau uang kerohiman.
PTPN kemudian mencari padanan kata serupa yang tumbuh dan berkembang di wilayah Sumatera Utara. Ditemukan beberapa istilah, seperti tali asih, ganti rugi, dan suguh hati. Hal ini menjadi pembahasan di internal perusahaan.
Prof Kusbianto juga memaparkan pada 2012, istilah suguh hati dipilih untuk mulai dikomunikasikan dengan masyarakat, pemangku kepentingan atau pihak lainnya.
Kata ganti rugi tidak digunakan karena menurut PTPN tidak tepat perusahaan membayar ganti rugi pada petani yang menggarap lahan yang dikuasai oleh perusahaan sendiri.
” Istilah tali asih juga dinilai tidak pas karena secara psikologis pengertian itu bersifat merendahkan,” kata mantan Direktur LBH Medan ini.
Kata Kusbianto, PTPN III berkeyakinan, pemberian suguh hati merupakan itikad baik perusahaan untuk menyelesaikan sengketa lahan antara mereka dan petani penggarap yang sudah sedemikian berlarut-larut.
Menurutnya, pemberian suguh hati dilakukan mengingat proses penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi di pengadilan dan non-litigasi yang ditempuh selama ini belum maksimal menyelesaikan masalah yang ada.
Masyarakat menolak putusan pengadilan yang menerbitkan eksekusi pengosongan lahan. Jika terjadi bentrokan, perusahaan sering menjadi sasaran kemarahan, PTPN dituding sebagai pelaku kekerasan dan tuduhan lainnya.
“Pemberian suguh hati menjadi pilihan untuk meminimalisir semua konflik tanah areal perkebunan sekaligus menyelesaikan masalah tanpa masalah baru,” kata Konsultan Hukum PTPN III ini.
Ayah tiga putra dan satu putri dari istri tercinta Herawaty SPd ini menambahkan, pemberian suguh hati dipandang efektif, manusiawi serta dapat memperbaiki hubungan perusahaan dengan masyarakat penggarap.
Hal ini juga sejalan dengan internalisasi nilai-nilai perusahaan yang peduli terhadap masyarakat di lingkungan perkebunan.
Disebutkannya, pemberian suguh hati terus disosialisasikan perusahaan kepada masyarakat melalui berbagai kesempatan.
” Ide itu perlahan mulai diterima petani. Satu persatu petani mewakili keluarganya menyatakan kesediaan menerima suguh hati dari perusahaan. Mereka yang telah menandatangani berita acara serah terima pemberian suguh hati selanjutnya meninggalkan lahan milik PTPN III kata pria kelahiran Jambi 29 Desember 1957 ini. (Ima)