MEDAN-Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) mengupas koran Perempuan Bergerak di sarasehan jurnalis perempuan yang digelar dalam rangkaian memeriahkan Hari Pers Nasional (HPN) 2023, di Grand Mercure, Medan, Rabu (8/2/2023).
Perempuan Bergerak merupakan koran pertama perempuan yang didirikan 1920 sebagai penyokong perjuangan kaum perempuan di Indonesia umumnya dan khususnya di Sumatera Utara.
Pada sarasehan jurnalis perempuan Indonesia itu menghadirkan narasumber Ichwan Azhari (Sejarawan dari Universitas Negeri Medan), Uni Lubis (Ketua Umum FJPI/ Pemred IDNTimes), Lia Anggia Nasution (Peneliti Sejarah Pers Perempuan di Sumatera Utara) dan Risa Marta Yati (Peneliti Pers Perempuan di Sumbar).
Seperti diketahui, surat kabar pertama yang diperuntukkan bagi kaum perempuan di Indonesia adalah surat kabar Poetri Hindia terbit pada 1 Juli 1908. Surat kabar ini dibuat oleh perintis pers Indonesia, Tirto Adhi Surjo.
Surat kabar pertama yang diterbitkan perempuan di Indonesia yakni Soenting Melajoe, terbit di Padang pada 10 Juli 1912 yang digawangi Rohana Kudus dan Ratna Djoeita.
Sedangkan, surat kabar pertama yang diterbitkan perempuan di Sumut bernama Koran Perempoean Bergerak, terbit Mei 1919-Desember 1920
Koran Perempuan Bergerak terbit 15 Mei 1919 di Wilhelminastraat no. 44, Medan,Telp. 562, Deli.
Koran ini dicetak NV. Drukkerij ‘Setia Bangsa’ dan ditujukan sebagai ‘Penjokong Pergerakan Kaoem Perempuan ‘.
Jargon Surat kabar ini adalah ‘De Beste Stuurlui Staan aan wal’ atau ‘ sahabat terbaik mampu melindungi’. Jadi sesama perempuan harus mampu saling mendukung, saling melindungi.
Koran Perempuan Bergerak ini digawangi redaksi perempuan yakni Boetet Satidjah, sebagai redactrice. Anong S. Hamidah, Ch. Baridjah, Indra Boengsoe dan Siti Sahara, Onderwijszeres Matang Gloempang Doea. Ketiganya didaulat menjadi Medwerksters (staf redaksi).
Peneliti Pers Perempuan di Sumatera Utara, Lia Anggia Nasution menuturkan, lahirnya koran Perempuan Bergerak karena perempuan menyadari pentingnya surat kabar sebagai alat perjuangan agar dapat menelurkan gagasan-gagasan dan bergerak bersama dengan tujuan untuk memperbaiki nasib, sehingga kaum perempuan dapat meraih kemajuan.
Menurutnya, pergerakan feminisme di Indonesia pada abad- 19 dapat dikategorikan sebagai pergerakan feminisme tahap pertama.
Pada tahap pertama memunculkan persoalan hak memilih dalam pemilihan pejabat publik, hak pendidikan yang dikemukakan pada zaman Belanda.
Tahap kedua memunculkan persoalan politis yang berada pada basis massa dan perkumpulan untuk memajukan baik keterampilan maupun politik perempuan yang ditemui pada masa orde.
Sedangkan tahap ketiga, pada masa orde baru, memunculkan wacana tugas-tugas domestifikasi perempuan sebagaimana yang diinginkan negara.
Pada tahap keempat, di era reformasi, memunculkan pergerakan liberal yang bertemakan anti kekerasan terhadap perempuan. (Gadis Arivia, 2006:15).
Sejarawan, Dr. Phil. Ichwan Azhari menyampaikan, sebagai sejarawan dirinya menganggap banyak data tertimbun yang tidak terungkap.
Sehingga, FJPI diharapkan dapat menghimpun data surat kabar yang mengisahkan tentang pergerakan perempuan, terutama di Sumut.
“Saya menyarankan secepat mungkin ada satu generasi atau seperti FJPI ini menghimpun memori tentang pers perempuan yang belum dilakukan, atau tidak selama ini. Peluang untuk mendapatkannya pun saya kira tetap ada,” katanya.
Risa Marta Yati selaku Peneliti Pers Perempuan Sumbar menambahkan berdasarkan penelitiannya memang literasi-literasi itu menjadi titik pangkal dari perempuan masuk ke dunia pers.
“Karena tanpa terekspos dari bacaan, tanpa lingkungan yang mengenalkan bacaan kepada anak-anak terutama perempuan, yang mungkin dulu kalau jaman kolonial tidak diberikan seperti buku tapi hanya diberikan kepada laki-laki,” jelasnya.
Sarasehan Jurnalis Perempuan ini difasilitasi Dewan Pers dan Kedutaan Besar (Kedubes) Australia serta didukung DAAI TV, Nusa Net, Narsis Digital, Langgam Batik dan Gempita Pro.
Sarasehan juga dihadiri Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, Ketua Dewan Pers periode 2010-2016 Prof Bagir Manan, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sumut Farianda Sinik dan para jurnalis perempuan se Indonesia.
Inklusif dan Kolaboratif
Ketua FJPI, Uni Lubis pada kesempatan itu menyayangkan, ketika dirinya menjadi anggota Dewan Pers, hampir 90 persen peserta pelatihan jurnalistik yang hadir adalah laki-laki.
“Kemudian saya buat slotnya 50 dan meminta dihadirkan jurnalis perempuan meskipun 90 persen laki-laki,” jelas Uni yang juga Pemred IDN Times.
Hingga kemudian atas izin dan dukungan saat itu dari Ketua Dewan Pers, Bagir Manan, selanjutnya Uni Lubis melakukan pelatihan jurnalis dengan pesertanya hanya jurnalis perempuan.
Menurutnya, untuk menyadarkan tentang kesetaraan tidak hanya perempuan tapi yang lebih penting lagi juga laki-laki tentang perspektif perempuan dan anak yang penting dalam peliputan.
“Kalau bukan kita jurnalis perempuan, siapa lagi. Jadi, bukan berarti kita hanya perspektif tapi kita harus lebih konsen,” kata Uni Lubis.
FJPI ini, katanya tidak hanya perempuan yang menjadi anggota. Diakuinya 15 tahun perkembangan dari hari pertama itu adalah di drive oleh ketidaksetaraan akses bagi peningkatan profesionalisme yang dialami jurnalis perempuan.
“Jurnalis perempuan .asih jomplang. Sehingga, diperlukan semangat untuk membentuk agar dapat belajar bersama dan juga organisasi yang wajib berkembang,” ungkap Uni Lubis yangvl sepakat FJPI bisa bersikap inklusif dan kolaboratif.
Ambil Peluang
Sementara itu Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu yang hadir sebagai keynote speaker mengisahkan tentang keinginannya mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Pers.
“Kalau Uni Lubis jadi anggota Dewan Pers karena dia seorang jurnalis. Kalau Saya bahkan tidak tahu apa itu dewan pers. Bahkan awalnya saya tidak mau, karena saya ingin berhenti sejenak di lembaga struktural. Saya sedang menikmati menjadi gadis panggilan, panggil sana panggil sini,” katanya dengan guyon.
Jika akhirnya Ninik mengambil peluang tersebut dengan tujuan agar perempuan selalu ada.
“Jurnalis adalah aktifitas yang maskulinitas, maka ketika ditawarkan kepada saya sebagai ketua dewan pers karena peluang untuk perempuan tidak selalu ada,” ungkapnya.
Menurutnya perempuan selalu melakukan pendekatan bergandeng tangan dengan banyak multi stakeholder.
Ketika tujuh orang memilihnya sebagai ketua, Ninik menyebutkan keinginannya untuk mengambil peluang.
“Namun jangan dianggap saya bisa, tapi untuk ambil peluang yang nantinya akan bertanya ke banyak pihak. Saya juga berharap mendapat dukungan kepada jurnalis perempuan,” kata Ninik.
Dikukuhkan
Pada acara tersebut juga dirangkai dengan pengukuhan
FJPI Sulawesi Utara (Sulut) Kalimantan Barat (Kalbar) periode 2022-2025 oleh
Ketua Umum FJPI, Uni Lubis .
Dengan dikukuhkannya FJPI Sulut dan Kalbar, maka saat ini FJPI memiliki 16 cabang.
“Kami dari pengurus FJPI pusat berterima kasih karena telah berinisiatif membentuk forum ini. Perempuan harus support perempuan, belajar dan bahagia bersama. Saya cuma mau ini bukan tempat dimana kita mencari proyek. Kerjasama itu boleh supaya kegiatan bisa berjalan. Kita amanah, istiqamah, supaya bisa bahagia dengan aman,” pungkas Uni Lubis pada sambutannya di pengukuhan FJPI tersebut (swisma)